Tepis Penyataan Dirut PT Agtika Dwisejahtera, Begini Tanggapan Pejuang Paseban

Merespon pernyataan Direktur PT Agtika Dwisejahtera, Wardiyono yang mengklaim bahwa kegiatan pertambangan yang akan mereka

Beritana, Jember – Muhammad Nur Wahid, Ketua Dewan Eksekutif Lembaga Pendidikan Rakyat untuk Kedaulatan Sumber-Sumber Agraria (LPR KuaSA) merespon pernyataan Dirut PT Agtika Dwisejahtera  yang mengklaim bahwa kegiatan pertambangan yang akan mereka lakukan ramah lingkungan. Ia menegaskan bahwa ini adalah bentuk penyesatan informasi.

Wahid menampik pertanyaan Wardiyono bahwa ia sebagai seorang nasionalis dan peduli lingkungan. Menurut ia, seharusnya Wardiyono tidak memaksakan diri untuk melakukan penambangan.

“Hendaknya tidak memaksakan diri untuk melakukan penambangan pasir besi di Paseban,” tegas pada Rabu (23/12/2020).

Mengutip Berita Baru Jatim, Wahid juga menyampaikan bahwa rencana penambangan pasir di laut telah dilarang untuk dilakukan. Hal itu diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 dan direvisi dengan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa dilarang melakukan penambangan pasir jika dapat merusak ekosistem.

“Pasal 35 Ayat UU Perlindungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah tegas menyatakan bahwa melakukan penambangan pasir pada wilayah yang bertanggung jawab secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya,” ungkap ia.

Ia menjelaskan, tidak ada alasan sebenarnya untuk memaksakan kegiatan pertambangan pasir besi di pesisir Paseban.

“Apalagi sedari awal masyarakat telah dengan tegas menolak rencana tersebut,” tukas ia.

Koordinator Daerah Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Daya Alam (FNKSDA) Jember, Nurul Mahmuda Hidayatullah, menyebutkan bahwa keberadaan tambang di pesisir selatan yang notabene adalah kawasan rawan bencana adalah penyelewangan terhadap dalil-dalil agama tentang keharusan menjaga ekosistem untuk menghindari kerusakan dan bencana.

“Dalam Al-Quran dan Hadist sudah cukup jelas larangan-larangan untuk membuat kerusakan di muka bumi. Sementara tambang pasir besi secara kajian ekologis, memiliki dampak yang besar terhadap kerusakan lingkungan,” terangnya.

“Seperti musnahnya topografi khas pesisir, kerusakan permanent pada bekas areal tambang, banjir rob, hingga kerentanan dan risiko tinggi terhadap bencana,” imbuh Nurul.

Ia menegaskan, semua itu dapat disimpulkan bahwa tambang pasir besi lebih besar mudaratnya dibanding manfaatnya yang hanya menguntungan segelintir orang.

“Siapa yang diuntungkan? Ya hanya koorporasi. Sementara masyarakat hanya mendapakatkan dampaknya. Oleh sebab itu, tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk memaksakan tambang di Paseban,” pungkas Mahmuda.

Sementara itu, Ketua II PC PMII Jember, Gandys Nanda Idriawan mengatakan tambang itu selalu berdampak buruk terhadap lingkungan. Ia mengambil salah satu contoh paling nyata adalah bekas kegiatan pertambangan pasir laut di pantai Ndampar-Pasirian Lumajang yang sampai hari ini menyisakan dampak lingkungan yang luarbiasa.

“Bisa dibayangkan bila terjadi air pasang, sementara jarak antara bekas galian kurang dari seratus meter. Tidak usah menunggu Tsunami, cukup dengan Rob saja itu sudah dapat menghadirkan bencana,” kata Gandys.

Kata ia, PC PMII Jember sedari awal bersama Ranting NU Paseban dan masyarakat sudah berulang kali melakukan penolakan dan usaha agar pertambangan pasir besi benar-benar tidak dilakukan.