Sejarah Singkat Kesenian Ludruk

Kilas balik kesenian ludruk

Surabaya – Masyarakat Jawa Timur, khususnya warga Kota Surabaya pasti tidak asing lagi mendengar kata Ludruk. Kesenian yang sampai saat ini belum jelas keberadaan asalnya, beberapa sumber menyebutkan bahwa ludruk pertama kali muncul di Jombang pada tahun 1907 dengan sebutan lerok, sampai saat ini kesenian Ludruk menjadi kesenian khas Kota Surabaya. Tentunya, jika di Surabaya maka ludruk disampaikan dengan bahasa khas suroboyoan, diiringi gamelan, tari ngremo, parikan, kidungan dan dagelan  yang benar-benar menghibur dan membuat penonton terbahak-bahak mesikpun ada kalanya juga diselingi oleh kritik-kritik sosial. Karena ludruk mengambil ide cerita dari kehidupan masyarakat sehari-hari dan juga sering menyisipkan cerita perjuangan arek suroboyo melawan penjajah.

Pada awalnya, ludruk atau yang dikenal lerok merupakan kesenian mengamen yang menggunakan peralatan kendang dan memakai busana wanita, dengan cara seperti itu, pemain ludruk menari-nari agar menarik perhatian penonton. Bermula dari situ, lahirlah tari remo yang sekarang selalu ada dalam setiap pementasan ludruk.

Pada masa sebelum sampai awal kemerdekaan, bermunculan berbagai kesenian ludruk di daerah Jawa Timur, muncul seniman-seniman baru, seperti Cak Durasim, sebagai pelopor berdirinya komunitas-komunitas kesenian ludruk. Karena pada saat itu, Indonesia masih dalam penjajahan, ludruk seringkali mengangkat cerita perlawanan rakyat dan juga berfungsi sebagai sarana perjuangan. Namun, pada orde baru, kesenian ini dimanfaatkan oleh segelintir pihak sebagai alat propaganda. Ludruk pada masa itu merupakan alat bagi PKI untuk menggalang massa. PKI memanfaatkan ludruk untuk menanamkan pengaruhnya di masyarakat.

Di titik itulah, eksistensi ludruk mulai meredup, perlahan mulai ditinggalkan rakyat. Meskipun begitu, pemerintah berupaya untuk tetap mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia bahwa ludruk adalah teater tradisional khas Jawa Timur yang harus dilestarikan kehadirannya. Hingga saatini, kesenian ludruk masih tetap bertahan ditengah kencangnya pergeseran budaya.